Siapapun Anda , Berhak untuk Kaya

Kekayaan merupakan hasil dari buah pikiran, yang diiringi dengan kemauan kuat, disusul tindakan nyata untuk mewujudkannya. Bukan ketiban rezeki nomplok, mendapat warisan dan sebagainya. Cuma, di tengah lesunya perekonomian saat ini, masih adakah keinginan menjadi kaya ?

Judul di atas, pasti bakal ditanggapi nyinyir. Ataupun menudingnya sekadar jual kecap nomer satu, uto pia belaka, bombastis, tidak rasional dan seabrek suara-suara sumbang lainnya. Maklumlah, di tengah harga kebutuhan pokok yang merangkak naik – sebut saja minyak goreng curah dan susu, belum lagi kondisi perekonomian yang tetap paceklik, secuil pun tak pernah terlintas punya hasrat jadi orang kaya. Asalkan perut tidak keroncongan dan kebutuhan sehari-hari tercukupi, itu pun sudah disyukuri, Alhamdulillah. Jadi, bila meminjam istilah anak gaul sekarang, emang gue pikirin.

Lantas, bila masa paceklik tetap berlanjut - usianya saat ini 10 tahun bila dihitung dari krisis moneter sampai reformasi, apa dong solusinya? Pasrah dengan mengkambinghitamkan keadaan yang tidak kondusif? Atau tetap bertahan dengan pola mengencangkan ikat pinggang, alias hidup sehemat mungkin? Itu pun wajar-wajar saja. Bukan sesuatu yang keliru. Bahkan, cara ini, ditempuh oleh jutaan orang Indonesia. Lagipula, siapa pun orangnya bakal sepakat, yang namanya hidup itu pilihan. Tidak bisa dipaksa, tergantung setiap pribadi yang melakoninya. Di sisi lain, rumusan orang kaya itu, ternyata tidak senyelimet yang dibayangkan. Contohnya, seperti dikatakan oleh Robert T. Kiyosaki, kaya itu bila punya banyak aset ke­timbang liabilitas (kewajiban). Nah, aset itu sendiri dibatasi segala sesuatu yang masuk kantong. Sedang liabilitas, segala sesuatu yang keluar dari kantong. Jadi, rumah, mobil, apartemen, sepanjang liabilitas, bukanlah aset. Konkritnya, bila sese­orang punya penghasilan Rp100 ribu per bulan, sementara pengeluarannya Rp50 ribu, otomatis orang tersebut sudah kaya.

Dari rumusan itu, agar hidup berkualitas – alias tidak melulu mengencangkan ikat pinggang, satu­-satunya cara ya tidak lain dengan me­nambah penghasilan. Cuma, pertanyaannya, ke mana menambah penghasilan? Itupun bukan pekerjaan mudah, mengingat pekerjaan formal saat ini tetap dihantui oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), rasionalisasi dan sebagainya. Sedang membuka usaha, terbentur urusan modal yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi risikonya, yang bukan mustahil me­ludeskan seluruh harta.

Temyata, modal menj adi kendala utama dalam membuka usaha, bukan­lah alasan utama. Sebab, hidup me­ngaj arkan, ada di antara mereka yang tidak punya modal, bisa mengem­bangkan usaha yang membuat dirinya menjadi multijutawan. Mau tahu? Lihatlah juragan minyak asal Rusia yang keturunan Yahudi, Roman Abramovich. la merupakan orang ter­kaya di Rusia versi Majalah Forbes, Maret lalu. Kekayaannya mencapai 13,3 miliar dolar, net worth. Sedang Majalah Time, mentahbiskan sebagai salah satu dari 100 orang pa­ling berpengaruh di dunia.

Padahal, lelaki kelahiran 24 Qktober 1966, di Saratov, dekat su­ngai Volga (Rusia Selatan), sejak usia 4 tahun sudah menjadi yatim piatu. la ditinggal ibunya saat berusia 18 bulan. Ayahnya tewas dalam kecelakaan kerja ketika usianya 4 tahun. Sejak itu, ia diasuh oleh pamannya dari pihak ayah, dibesarkan sang kakek bersama keluarga Yahudi di Komi, sebelah barat laut Rusia. Masa kecilnya dilalui dengan kerja keras, seperti mengumpulkan sampah kantung plastik, lalu menjualnya ke bos pemulung untuk membeli sepo­tong roti.

Sayangnya, tak banyak tulisan yang mengungkap sisi kehidupannya, termasuk petualangannya dalam bisnis. Abramovich dikenal sebagai jutawan pasca tumbangnya Uni So­viet, yang menjelma menjadi Rusia. la disebut-sebut sebagai Young Mil­lionaires yang menikmati hembusan angin Glasnost dan Perestroika ala Mikhail Gorbachev, khususnya setelah Boris Yeltsin menjadi penguasa Rusia. Santer juga disebutkan, bos klub sepak bola Chelsea ini, banyak belajar bisnis dari mentornya, pemilik perusahaan minyak terkemuka Rusia, Sibneft, Boris Berezovsky. Sibneft saat ini kepemilikannya dikuasai oleh Abramovich.

Hak Semua Orang

Dari kisah Roman Abramovich itu, menunjukkan uang bukanlah faktor dominan seseorang menjadi jutawan. Sebab, di luar uang, seperti dikatakan oleh Jim Rohn, seorang entrepreneur dan konsultan bisnis asal Amerika Serikat, menyebut ada sembilan hal yang lebih penting me­lebihi dari uang, yang menggerakkan seseorang berani merubah hidupnya. Kesembilan itu meliputi waktu, ke­cemasan, keteguhan, keberanian, ambisi, percaya, kreativitas, hati dan jiwa, serta terakhir kepribadian (lihat Bisnis Plus edisi 14).

Bahkan, ke-miliader-an Abramo­vich itu membuktikan menjadi kaya adalah hak semua orang. Bukan milik segelintir orang, yang diidentikan oleh garis keturunan, tingkat pendidikan, modal yang besar, mendapat rezeki nomplok, warisan maupun undian berhadiah. Alasannya, Ilahi – Sang Pencipta dan pemilik semesta alam ini – tak pernah diskriminatif terhadap ciptaan-Nya. Dia melengkapi setiap bayi yang lahir dengan organ yang sama: otak, mata, tangan, jantung dan sebagainya. Yang berbeda, hanya dalam implementasinya: apakah orang itu optimal menggunakan karunia yang diberikan oleh Ilahi?

Lagipula, meminjam bahasa motivasi, kekayaan merupakan hasil dari buah pikiran, yang diiringi dengan kemauan kuat, disusul tindakan nyata untuk mewujudkannya. Bila masih tidak percaya, lagi-lagi kehidupan banyak memberikan contoh, seperti kisah Kolonel Sanders. Atribut jutawan disandangnya, bukan dalam usia muda. Melainkan saat sepuh (60­an), setelah usaha restorannya digusur pembangunan jalan raya antar negara bagian, ChicagoFlorida. la menerima cek jaminan sosial sebesar 104 dolar, 1956.,

Ternyata, uang itu bukan mem­buatnya betah di rumah. la ingin re­nyah ayam gorengnya dinikmati banyak orang. Makanya, selama dua tahun, lelaki kelahiran Corbin, kota kecil di Chicago, 9 September 1880, berkelana menawarkan resep ayam gorengnya ke ribuan restoran di penjuru Amerika Serikat. Selama dua tahun itu pula, ia hidup dengan penolakan, cemoohan dan pelecehan. Toh itu tidak membuatnya jerah. la tidak putus asa; terus menawarkan ayam gorengnya. Dan hasilnya tidak sia-sia. Sejarah mencatat; saat kakinya menginjak di restoran ke 1009, resep ayam gorengnya diterima dengan konsep waralaba. Sampai sekarang, racikan ayam gorengnya sebagai Kentucky Fried Chicken (KFC).

Pertanyaannya, kenapa Kolonel Sander berhasil? Itu tak lain, selain keinginannya yang kuat, meminjam istilah Wallace D. Wattles, seperti ditulis dalam bukunya ber­judul The Science of Get­ting Rich (Ilmu Menjadi Kaya), sebuah karya klasik yang diterbitkan 1910, ka­rena dia bertindak di jalan yang tepat: tidak mau me­nyerah, tetap bertahan dan terus menawarkan resep a­yam gorengnya. Maklum­lah, di mata Wallace, men­jadi kaya hanya soal bagai­mana seseorang mau bela­jar mengerjakan sesuatu (bertindak) di jalan yang tepat.

Contohnya, ada dua orang yang mengelola res­toran di lokasi yang sama. Namun, setelah berusaha keras, seseorang tidak ber­hasil, alias tidak menjadi kaya. Sedang pesaingnya berhasil. Usaha restoran­nya maju pesat. Pastilah o­rang yang tidak berhasil itu, bukan lantaran lokasinya yang sama, tapi karena or­ang itu tidak mengerjakan segala sesuatunya seperti dijalankan oleh pesaingnya.

Begitupun keinginan yang kuat, tanpa tindakan yang tepat, hasilnya pun bakal sia-sia. Di sini ada ce­rita soal penambang emas di Colorado, Amerika Se­rikat, yang terus melaku­kan penggalian, mengikuti “urat emas” pada tanah ter­sebut. Namun, di sebuah tempat, tiba-tiba saja “urat emas” itu menghilang. Me­reka terus berusaha meng­gali menemukan “urat emas” tadi. Namun, semua upaya yang dilakukan sia­sia. “Urat emas” itu benar­benar tidak dapat ditemu­kan. Mereka akhirnya me­nyerah, menjual mesinnya pada tukang loak.

Ternyata, tukang loak itu bertindak dengan tepat. Dia tidak langsung menggali tanah, melainkan memang­gil insinyur pertambangan untuk meninjau lokasi penggalian dan membuat sedikit perhitungan. Akhir­nya, setelah seksama mem­perhatikan, insinyur itu memberitahukan bahwa kegagalan “proyek” itu ka­rena pemiliknya tidak me­ngetahui “jalur patahan”, Perhitungannya “urat e­mas” akan ditemukan ha­nya sejauh tiga langkah dari penggalian terakhir. Dan nyatanya, di situlak emas ditemukan, yang membuat si tukang loak itu berubah menjadi miliarder.

Penelitian Thomas J. Stanley, tentang :,aru bagai­mana menjadi kaya, mem­buktikan siapa pun Anda – tanpa mengenal latar bela­kang status sosial, berhak menjadi kaya, asalkan mempunyai hasrat dan keinginan membara, dan bertindak berdasarkan fantasinya. Lihat saja peneli­tiannya selama 12 tahun tentang jutawan di Amerika Serikat, berasal dari pel­bagai lapisan sosial. Dari mulai kalangan terendah sampai tertinggi, latar pendidikan yang buruk sampai baik, dan beberapa di antaranya punya kelema­han fisik. Satu-satunya per­samaan mereka: memiliki impian meraih sukses (kaya). Mereka itu, dinilai­nya merupakan orang biasa, yang berusaha mendapat­kan hasil luar biasa. Thomas dan rekan­nya, William D. Dangko, seperti ditulis dalam buku mereka, The Millionaire Next Door, menyimpulkan keliru bila kekayaan itu bisa dihasilkan karena keberun­tungan, warisan, pendidi­kan yang tinggi, atau kecer­dasan yang memungkinkan seseorang bisa mengum­pulkan kekayaan. Sebetul­nya, kekayaan adalah hasil kerja keras, keuletan, pe­rencanaan, dan yang paling utama adalah disiplin diri. Nah persoalannya, masih adakah hasrat dan keinginan menjadi orang kaya di tengah ekonomi yang tetap paceklik saat ini? Lagi-lagi nurainilah yang menjawabnya.

Artikel di ambil di www.mlmindonesia.com

bisnis, uang, indonesia, uang, duit, download, indonesia, tourism, krisis ekonomi, lowongan, sehat, sembuh, penyakit, sakit, obat, suplemen, alami, natural, k-link, leader, pekerjaan,multi level marketing, PHK, dunia